Minggu, 13 Maret 2016

Cerpen Sembuhkan Aku "Aku adalah Kamu"



SEMBUHKAN AKU
7 Januari 2015
Melupakan bukan jawaban yang tepat pada dua hati yang bersekat dinding tebal. Omong kosong jika waktu dapat menghapus jejak. Mungkin semua tidak akan pernah sama, seperti pertama kali. Meskipun begitu aku selalu berharap semua akan kembali seperti saat-saat bersamanya.
Kakiku  menyusuri jalan setapak menuju danau kecil yang berada di pinggir taman favoritku. Kurebahkan tubuhku pada rerumputan, dengan kepalaku yang menatap hamparan langit yang mulai menggelap. Aku sengaja datang pada sore hari saat pengunjung mulai sepi. Suasana tenang seperti ini yang kusuka. Dan hal inilah yang membuatku teringat akan hari-hari berat yang kulalui bersamanya.
“Lihatlah ke atas!” aku melihat cahaya yang paling bersinar terang di antara cahaya-cahaya lainnya di atas sana. Tanpa sadar aku tersenyum masih ingat kalimatnya waktu pertama kali aku kesini.
“Kau tahu bintang itu tidak hanya hadir saat malam menjelang. Tetapi saat pagi terbit, bintang itu akan muncul kembali dan selalu menjadi satu-satunya yang paling terang.” Aku hanya diam mencerna kata-katanya.
“kata orang bintang itu selalu setia menyambut pagi dan malam. Orang-orang tersebut percaya bahwa bintang itu menjadi impian tentang sebuah harapan dan cita-cita.” Lanjutnya.
“Nama bintang itu apa?” tanpa sadar kata-kata itu meluncur dari bibirku begitu saja, entah kenapa aku begitu tertarik. Ini adalah kalimatku yang pertama untuknya. Setelah selama ini aku selalu diam saat dia mencoba mengobrol denganku. Dia tersenyum. “Namanya kejora. Bintang kejora.” Aku terdiam, terkejut akan ucapannya.
Kejora. Nama yang indah dan memiliki makna yang luar biasa. Karena nama itulah aku bersyukur, setidaknya orangtuaku memiliki doa yang baik lewat sebuah nama. Meskipun pada kenyataannya cahaya terang yang disebut bintang itu sebenarnya bukanlah bintang melainkan planet yang bernama Venus.
Tetapi apapun kenyataan itu, hal ini membuatku tersadar bahwa sebenarnya Bunda dan Ayah sangat menyayangiku. Setelah selama ini aku  sangat membenci mereka. Karena aku menganggap bahwa mereka itu egois yang telah menghancurkan masa remajaku.
PRANGGGG.....
Dengan tergesa-gesa aku berlari masuk rumah dengan pakaian seragam SMA yang masih lengkap. Lagi. Mereka bertengkar lagi untuk kesekian kalinya tanpa menghargai perasaanku.
“KAMU YA MAS AKU SUDAH LELAH DENGAN SIKAPMU! AKU SUDAH CUKUP BERSABAR SELAMA INI!! LEBIH BAIK KITA CERAI!!!!!” Bunda berteriak dengan lantang. Cerai apa maksudnya?
“HEH BERANI KAMU MENERIAKIKU!! DASAR ISTRI DURHAKA TIDAK TAHU DIUNTUNG!! KALAU ITU MAUMU AYO KITA CERAI!!” Jawab   Ayah berapi-api.
“CUKUP!!” teriakku.
“Bunda sama Ayah jahat, egois, tidak mengerti perasaanku. Aku muak dengan semua ini. Lebih baik aku mati.” 
“Nak, apa yang kamu lakukan, jangan seperti itu.” Bunda mendekatiku.
“Pergi... Jangan mendekat!!” Aku berteriak tubuhku gemetar dengan keringat yang berlebih, aku merasa begitu takut dan cemas. Bagaimana jika memang orangtua ku akan bercerai, lebih baik mati saja. Pandanganku menjadi buram dan selanjutnya aku tidak ingat apa-apa.
Aku teringat setelah kejadian itu berhari-hari aku mengurung diri di kamar dengan perasaan takut dan gelisah. Aku tidak terlalu ingat dengan apa saja yang kulakukan, mungkin saat itu kondisiku tidak terkendali sehingga orangtuaku mengirimku ke Rumah Sakit Jiwa.
“Jangan mendekat!! Aku mohon!! Jangan!!” teriakku menggema di seluh penjuru ruangan serba putih ini. Tubuhku penuh keringat dan bergetar.
“Jangan sakiti aku lagi!! Aku tidak mau di sini!!!”
“Pergi!! Pergi!! Aku ingin sendiri!!” aku terus meracau tanpa sadar. Aku melihat orang-orang di sekitarku menjagal tangan kanan dan kiriku begitu kuat. Mereka semua berpakaian putih. Sungguh aku merasa begitu takut, cemas, resah, dan aku merasa sendiri.
“Tenanglah, jangan takut, kami tidak jahat.” Ucap seorang berpakaian putih dengan kacamata frame yang bertengger di hidung mancungnya.
“Sekarang tidurlah.” Lanjutnya. Aku ingin sekali berteriak lagi, tetapi tubuhku tiba-tiba lemas dan kantuk pun menyerang. Setelah aku melihat seseorang yang berpakaian putih lainnya menyuntikku dengan entah apa itu. dan aku pun jatuh tertidur.
Sepotong ingatan di masalaluku muncul, aku meringis betapa menyedihkannya kehidupanku dulu di saat para remaja lain bersenang-senang. Sedangkan aku harus terkungkum dalam duniaku sendiri.
Hari semakin gelap, segera aku bangkit dan berjalan pulang. Hampir setengah jam aku menunggu, akhirnya bus datang juga. Kulihat bus tampak sepi hanya ada beberapa orang saja. Aku duduk di tempat favoritku, dekat jendela untung saja masih tersisa tempat seperti ini. Tanganku memasang earphone di telinga bersiap untuk mendengarkan lagu kesukaanku. Dan dia yang telah mengulurkan tangannya untuk menyembuhkanku.
“ Kau suka jenis musik apa, cantik?”  Tanyanya dengan suara yang lembut.
“Kau melamun lagi, sudah ku bilang melamun tidaklah baik.” Ujarnya dengan tangan melambai di depanku. Aku tersenyum.
“Aku tidak melamun.” Jawabku ketus. Reflek aku  memalingkan mukaku saat dia menatapku dengan intens.
“Oke kalau begitu, apa musik kesukaanmu,  Nona cantik? ” Tanyanya lagi dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Membuatku geli dengan panggilannya.
“A..ku..emm..aku.. suka.. K-Pop.” Ucapku ragu. Bukan karena ragu menyukai musik K-Pop tapi aku ragu, dia pasti akan menertawakanku.
“Ohh.. kau suka musik seperti itu ternyata.” Jawabnya dengan senyum terkulum menahan tawa yang  jelas tercetak di wajahnya . Tuhh... kan dia ingin menertawakanku. Aku cemburut melihatnya.
“Jangan cemberut, aku tidak menertawakanmu.” Katanya sambil menatapku.
“Lagian kau kan masih bocah, di umurmu sekarang memang kebanyakan menyukai jenis musik seperti itu. hehehe... aku hanya heran kan kau sedikit galak aku kira kamu menyukai musik rock, hahaha” Lanjutnya. Dengan  seenaknya saja dia menyentil keningku dengan keras dan tertawa dengan sepuasnya.
“Aduhh...Yakk, kau menyebalkan sekali! Aku bukan bocah tahu! Aku sudah 18 tahun. Lagian apa salahnya kalau kita suka K-Pop! Apa menurutmu itu kekanakan?” ucapku menggebu.
“Wow.. ini kalimat terpanjangmu selama kita mengobrol. Aku suka kau semakin sehat. Katakan ada lagu yang kau suka? Aku tidak akan menertawakanmu lagi, janji?” Dia mengacak rambutku dan tersenyum begitu manis. Entah kenapa dia selalu membuatku mematung hanya dengan gerakan refleknya dan mampu menurunkan emosiku begitu saja hanya dengan ucaapannya. 
“Aku suka lagu All For You dari Jung Eun Ji Feat. Seo In Guk” ucapku.
Aku tersenyum mengingat hal-hal kecil itu bersamanya. Dia memang yang membuatku tersadar, setidaknya masih ada orang yang peduli kepadaku. Dan melepaskanku dari jeratan kecemasan dan ketakutan. Aku teringat saat tiba-tiba dia memasangkan earphone di telinga sebelah kiriku dan sebelah kanan telinganya. Kita mendengarkan musik bersama.
Gangguan Ansietas berat atau rasa cemas dan takut yang berlebihan. Karena rasa trouma dan depresi membuatku jadi orang berbeda. Aku akan berteriak tidak jelas, keringat yang bercucuran dan tubuh merasa gemetar. Hanya melihat pertengkaran, dan mendengarkan suara keras di sekitarku. Namun, itulah yang mempertemukanku dengannya. Dia yang telah memaniku melewati hari-hari suram itu. dengan titel dokter mudanya dia berusaha menyembuhkanku.
“Dokter, apa anak kami bisa sembuh dari penderitaannya dok?” tanya Bunda dengan nada bergetar, menahan tangis.
“Tenang Ibu dan Bapak, jika kita terus mendukungnya, saya yakin dia akan segera sembuh. Kita akan melakukan berbagai terapi dengan baik. Agar dia bisa melawan rasa cemas serta ketakutannya. Kalian harus selalu yakin dan terus mendukungnya.” 
“Terima kasih dok, sudah merawat anak kami.”
“Sama-sama, itu sudah menjadi kewajiban kami.”
Setelah dokter muda itu pergi, aku melihat Bunda kembali menangis dan pertama kalinya Ayahku pun menangis.
“Ini semua salah kita yang terlalu egois. Kita selalu bertengkar dan mengatakan kata perpisahan di depannya. Tanpa memikirkan perasaannya. Sekarang anak kita yang menanggungnya. Aku merasa gagal menjadi ayah.”
Bunda terus menangis dalam pelukan Ayah.mereka menangis bersama. Hatiku sakit saat melihatnya.
 Sejak saat itu sampai sekarang kedua orangtua ku berubah menjadi lebih hangat setelah rasa hambar dalam keluarga yang aku rasakan. Sekarang kehidupanku tak seburuk dulu, aku memiliki keluarga yang selalu mendukungku untuk maju menatap masa depan dan tidak terpenjara lagi pada umur 18 tahunku. Kini aku hidup tanpa ada rasa takut ataupun cemas yang berlebih. Aku bersyukur dapat melewatinya dengan baik.
 “Panjaitan!! Panjaitan!!” seru kenet bus. Tak terasa sekarang sudah sampai di halte dekat rumahku. Lagu ini masih terus berputar menemaniku, aku segera turun dari bus dan berjalan pulang sekitar 5 menit untuk sampai di rumah.
Tanganku memegang sebuah benda  bergantung indah di leherku. Liontin ini akan tampak bercahaya seperti bintang terang, tetapi bentuknya bulat kecil seperti planet yang berwarna orange. Seperti Venus. Dia yang memberikannya sebelum pergi dengan sepucuk surat.
Apa kau tahu bahwa kamu adalah aku? Jika takdir mempertemukan kita. Maka benang merah memang bena-benar akan mengikat kita.
***
7 Januari 2016
Awan seketika bergelembung gelap menjadi titik-titik air yang menetes ke bumi. Tubuhku masih terdiam kaku di tempat semula tanpa ingin bergerak. Memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Tak terasa air mata ini dengan kurang ajarnya mendesak keluar begitu saja. Apa ini perasaan setelah kehilangan?
Berlahan dia berjalan ke arahku dengan senyum yang terus bertengger di bibirnya. Aku terkejut saat dengan tiba-tina dia menarik tanganku dan memelukku erat. Aku masih menangis dalam pelukannya. Ini seperti mimpi untukku.
“Kejora..” Suara ini, suara yang sangat ku rindukan.
“Venus” Ucapku  lirih, tapi aku yakin dia mendengarnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar