SEMBUHKAN AKU
7 Januari 2015
Melupakan bukan jawaban yang tepat pada dua hati yang
bersekat dinding tebal. Omong kosong jika waktu dapat menghapus jejak. Mungkin
semua tidak akan pernah sama, seperti pertama kali. Meskipun begitu aku selalu
berharap semua akan kembali seperti saat-saat bersamanya.
Kakiku menyusuri jalan
setapak menuju danau kecil yang berada di pinggir taman favoritku. Kurebahkan
tubuhku pada rerumputan, dengan kepalaku yang menatap hamparan langit yang
mulai menggelap. Aku sengaja datang pada sore hari saat pengunjung mulai sepi. Suasana
tenang seperti ini yang kusuka. Dan hal inilah yang membuatku teringat akan
hari-hari berat yang kulalui bersamanya.
“Lihatlah ke
atas!” aku melihat cahaya yang paling
bersinar terang di antara cahaya-cahaya lainnya di atas sana. Tanpa sadar aku
tersenyum masih ingat kalimatnya waktu pertama kali aku kesini.
“Kau tahu bintang
itu tidak hanya hadir saat malam menjelang. Tetapi saat pagi terbit, bintang
itu akan muncul kembali dan selalu menjadi satu-satunya yang paling terang.” Aku
hanya diam mencerna kata-katanya.
“kata orang
bintang itu selalu setia menyambut pagi dan malam. Orang-orang tersebut percaya
bahwa bintang itu menjadi impian tentang sebuah harapan dan cita-cita.”
Lanjutnya.
“Nama bintang itu
apa?” tanpa sadar kata-kata itu meluncur dari bibirku begitu saja, entah kenapa
aku begitu tertarik. Ini adalah kalimatku yang pertama untuknya. Setelah selama
ini aku selalu diam saat dia mencoba mengobrol denganku. Dia tersenyum.
“Namanya kejora. Bintang kejora.” Aku terdiam, terkejut akan ucapannya.
Kejora. Nama yang indah dan memiliki makna yang luar biasa.
Karena nama itulah aku bersyukur, setidaknya orangtuaku memiliki doa yang baik
lewat sebuah nama. Meskipun pada kenyataannya cahaya terang yang disebut
bintang itu sebenarnya bukanlah bintang melainkan planet yang bernama Venus.
Tetapi apapun kenyataan itu, hal ini membuatku tersadar bahwa
sebenarnya Bunda dan Ayah sangat menyayangiku. Setelah selama ini aku sangat membenci mereka. Karena aku menganggap
bahwa mereka itu egois yang telah menghancurkan masa remajaku.
PRANGGGG.....
Dengan
tergesa-gesa aku berlari masuk rumah dengan pakaian seragam SMA yang masih
lengkap. Lagi. Mereka bertengkar lagi untuk kesekian kalinya tanpa menghargai
perasaanku.
“KAMU YA MAS AKU
SUDAH LELAH DENGAN SIKAPMU! AKU SUDAH CUKUP BERSABAR SELAMA INI!! LEBIH BAIK
KITA CERAI!!!!!” Bunda berteriak dengan lantang. Cerai apa maksudnya?
“HEH BERANI KAMU
MENERIAKIKU!! DASAR ISTRI DURHAKA TIDAK TAHU DIUNTUNG!! KALAU ITU MAUMU AYO
KITA CERAI!!” Jawab Ayah berapi-api.
“CUKUP!!”
teriakku.
“Bunda sama Ayah
jahat, egois, tidak mengerti perasaanku. Aku muak dengan semua ini. Lebih baik
aku mati.”
“Nak, apa yang
kamu lakukan, jangan seperti itu.” Bunda mendekatiku.
“Pergi... Jangan
mendekat!!” Aku berteriak tubuhku gemetar dengan keringat yang berlebih, aku
merasa begitu takut dan cemas. Bagaimana jika memang orangtua ku akan bercerai,
lebih baik mati saja. Pandanganku menjadi buram dan selanjutnya aku tidak ingat
apa-apa.
Aku teringat setelah kejadian itu berhari-hari aku mengurung
diri di kamar dengan perasaan takut dan gelisah. Aku tidak terlalu ingat dengan
apa saja yang kulakukan, mungkin saat itu kondisiku tidak terkendali sehingga
orangtuaku mengirimku ke Rumah Sakit Jiwa.
“Jangan mendekat!!
Aku mohon!! Jangan!!” teriakku menggema di seluh penjuru ruangan serba putih
ini. Tubuhku penuh keringat dan bergetar.
“Jangan sakiti aku
lagi!! Aku tidak mau di sini!!!”
“Pergi!! Pergi!!
Aku ingin sendiri!!” aku terus meracau tanpa sadar. Aku melihat orang-orang di
sekitarku menjagal tangan kanan dan kiriku begitu kuat. Mereka semua berpakaian
putih. Sungguh aku merasa begitu takut, cemas, resah, dan aku merasa sendiri.
“Tenanglah, jangan
takut, kami tidak jahat.” Ucap seorang berpakaian putih dengan kacamata frame
yang bertengger di hidung mancungnya.
“Sekarang
tidurlah.” Lanjutnya. Aku ingin sekali berteriak lagi, tetapi tubuhku tiba-tiba
lemas dan kantuk pun menyerang. Setelah aku melihat seseorang yang berpakaian
putih lainnya menyuntikku dengan entah apa itu. dan aku pun jatuh tertidur.
Sepotong ingatan di masalaluku muncul, aku meringis betapa
menyedihkannya kehidupanku dulu di saat para remaja lain bersenang-senang.
Sedangkan aku harus terkungkum dalam duniaku sendiri.
Hari semakin gelap, segera aku bangkit dan berjalan pulang. Hampir
setengah jam aku menunggu, akhirnya bus datang juga. Kulihat bus tampak sepi
hanya ada beberapa orang saja. Aku duduk di tempat favoritku, dekat jendela
untung saja masih tersisa tempat seperti ini. Tanganku memasang earphone di telinga bersiap untuk
mendengarkan lagu kesukaanku. Dan dia yang telah mengulurkan tangannya untuk
menyembuhkanku.
“ Kau suka jenis
musik apa, cantik?” Tanyanya dengan
suara yang lembut.
“Kau melamun lagi,
sudah ku bilang melamun tidaklah baik.” Ujarnya dengan tangan melambai di
depanku. Aku tersenyum.
“Aku tidak
melamun.” Jawabku ketus. Reflek aku memalingkan mukaku saat dia menatapku dengan
intens.
“Oke kalau begitu,
apa musik kesukaanmu, Nona cantik? ”
Tanyanya lagi dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Membuatku geli dengan
panggilannya.
“A..ku..emm..aku..
suka.. K-Pop.” Ucapku ragu. Bukan karena ragu menyukai musik K-Pop tapi aku
ragu, dia pasti akan menertawakanku.
“Ohh.. kau suka
musik seperti itu ternyata.” Jawabnya dengan senyum terkulum menahan tawa yang jelas tercetak di wajahnya . Tuhh... kan dia ingin
menertawakanku. Aku cemburut melihatnya.
“Jangan cemberut,
aku tidak menertawakanmu.” Katanya sambil menatapku.
“Lagian kau kan
masih bocah, di umurmu sekarang memang kebanyakan menyukai jenis musik seperti
itu. hehehe... aku hanya heran kan kau sedikit galak aku kira kamu menyukai
musik rock, hahaha” Lanjutnya. Dengan seenaknya saja dia menyentil keningku dengan
keras dan tertawa dengan sepuasnya.
“Aduhh...Yakk, kau
menyebalkan sekali! Aku bukan bocah tahu! Aku sudah 18 tahun. Lagian apa
salahnya kalau kita suka K-Pop! Apa menurutmu itu kekanakan?” ucapku menggebu.
“Wow.. ini kalimat
terpanjangmu selama kita mengobrol. Aku suka kau semakin sehat. Katakan ada
lagu yang kau suka? Aku tidak akan menertawakanmu lagi, janji?” Dia mengacak
rambutku dan tersenyum begitu manis. Entah kenapa dia selalu membuatku mematung
hanya dengan gerakan refleknya dan mampu menurunkan emosiku begitu saja hanya
dengan ucaapannya.
“Aku suka lagu All
For You dari Jung Eun Ji Feat. Seo In Guk” ucapku.
Aku tersenyum mengingat hal-hal kecil itu bersamanya. Dia
memang yang membuatku tersadar, setidaknya masih ada orang yang peduli kepadaku.
Dan melepaskanku dari jeratan kecemasan dan ketakutan. Aku teringat saat
tiba-tiba dia memasangkan earphone di
telinga sebelah kiriku dan sebelah kanan telinganya. Kita mendengarkan musik
bersama.
Gangguan Ansietas berat atau rasa cemas dan takut yang berlebihan.
Karena rasa trouma dan depresi membuatku jadi orang berbeda. Aku akan berteriak
tidak jelas, keringat yang bercucuran dan tubuh merasa gemetar. Hanya melihat
pertengkaran, dan mendengarkan suara keras di sekitarku. Namun, itulah yang mempertemukanku
dengannya. Dia yang telah memaniku melewati hari-hari suram itu. dengan titel
dokter mudanya dia berusaha menyembuhkanku.
“Dokter, apa anak
kami bisa sembuh dari penderitaannya dok?” tanya Bunda dengan nada bergetar,
menahan tangis.
“Tenang Ibu dan
Bapak, jika kita terus mendukungnya, saya yakin dia akan segera sembuh. Kita
akan melakukan berbagai terapi dengan baik. Agar dia bisa melawan rasa cemas
serta ketakutannya. Kalian harus selalu yakin dan terus mendukungnya.”
“Terima kasih dok,
sudah merawat anak kami.”
“Sama-sama, itu
sudah menjadi kewajiban kami.”
Setelah dokter muda
itu pergi, aku melihat Bunda kembali menangis dan pertama kalinya Ayahku pun
menangis.
“Ini semua salah
kita yang terlalu egois. Kita selalu bertengkar dan mengatakan kata perpisahan
di depannya. Tanpa memikirkan perasaannya. Sekarang anak kita yang
menanggungnya. Aku merasa gagal menjadi ayah.”
Bunda terus
menangis dalam pelukan Ayah.mereka menangis bersama. Hatiku sakit saat
melihatnya.
Sejak saat itu sampai
sekarang kedua orangtua ku berubah menjadi lebih hangat setelah rasa hambar
dalam keluarga yang aku rasakan. Sekarang kehidupanku tak seburuk dulu, aku
memiliki keluarga yang selalu mendukungku untuk maju menatap masa depan dan
tidak terpenjara lagi pada umur 18 tahunku. Kini aku hidup tanpa ada rasa takut
ataupun cemas yang berlebih. Aku bersyukur dapat melewatinya dengan baik.
“Panjaitan!!
Panjaitan!!” seru kenet bus. Tak terasa sekarang sudah sampai di halte dekat
rumahku. Lagu ini masih terus berputar menemaniku, aku segera turun dari bus
dan berjalan pulang sekitar 5 menit untuk sampai di rumah.
Tanganku memegang sebuah benda bergantung indah di leherku. Liontin ini akan
tampak bercahaya seperti bintang terang, tetapi bentuknya bulat kecil seperti
planet yang berwarna orange. Seperti Venus. Dia yang memberikannya sebelum
pergi dengan sepucuk surat.
Apa kau tahu bahwa
kamu adalah aku? Jika takdir mempertemukan kita. Maka benang merah memang
bena-benar akan mengikat kita.
***
7 Januari 2016
Awan seketika bergelembung gelap menjadi titik-titik air yang
menetes ke bumi. Tubuhku masih terdiam kaku di tempat semula tanpa ingin
bergerak. Memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Tak terasa air mata
ini dengan kurang ajarnya mendesak keluar begitu saja. Apa ini perasaan setelah
kehilangan?
Berlahan dia berjalan ke arahku dengan senyum yang terus
bertengger di bibirnya. Aku terkejut saat dengan tiba-tina dia menarik tanganku
dan memelukku erat. Aku masih menangis dalam pelukannya. Ini seperti mimpi
untukku.
“Kejora..” Suara ini, suara yang sangat ku rindukan.
“Venus” Ucapku lirih,
tapi aku yakin dia mendengarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar