Aku, Daun, dan Jalan ini..
Bunyi
decitan ban menimbulkan kebisingan di telingaku membuatku tersadar, bahwa aku
harus segera turun dari angkutan ini. Setelah membayar uang angkot, kini mataku
mulai menjelajahi pemandangan yang
tersaji di depanku. Rasanya sudah lama kakiku tak menginjak jalan ini, ternyata
sudah banyak yang berubah. Sekarang jalannya sudah hotmik tidak serusak dulu, pohon-pohon
yang berjejer di sekeliling jalan tampaknya telah berkurang, sehingga udaranya tidak
sesejuk dulu saat aku melewatinya di setiap pulang sekolah. Jalan ini bisa di
bilang akses tercepat menuju rumahku yang kenyataannya jauh dari keramaian kota
dan jalan ini menghubungkan dua komplek di daerah ini. Entah kenapa rasanya
ingin bernostalgia dengan jalan ini, ada rasa kerinduan untuk mengulangi masa-masa
perjalananku waktu aku masih belajar di sekolah menengah. Sudah lima menit
lewat aku berjalan, butuh 25 menit lagi untuk sampai dirumah.
Tanpa
sadar ada satu memori yang ingin mencoba
menguak sisi lain tentang kenangan jalan ini. Yah, jalan ini sudah seperti saksi bisu sebagian
dari perjalanan hidupku, tempat aku bahagia, tertawa, menangis, kecewa dan
masih banyak macam rasa yang terjadi di jalan ini. Empat tahun sudah berlalu tapi ingatan itu
masih belum enyah juga dari pikiranku. Entah
angin dari mana yang membuat hatiku
tergerak untuk melewati jalan ini lagi. Tetapi, aku tidak mungkin terus
menghindar, ini sudah terlalu lama bukan,
sudah saatnya aku menghadapi semuanya.
Semakin
lama aku berjalan semakin nyata terlihat sekelebat potongan-potongan kejadian
penuh kenangan itu, dan anehnya terus membanjiri otakku seakan-akan ingin
dimuntahkan saat itu juga. Satu titik air mataku berhasil meluncur melewati
pipi kiriku, masih saja ada perih yang tersisa.
Empat
tahun lalu...
Hari
ini sangat berbeda dari hari biasanya saat melewati jalan ini, ada seseorang
yang berjalan di depanku tepatnya seorang laki-laki. Dia tidak terlalu tinggi postur tubuhnya tapi juga tidak pendek,
wajahnya menyiratkan ketegasan, tidak ada yang spesial sebenarnya seorang
laki-laki biasa dengan kulit kecoklatan. Entah kenapa saat itu aku memandanginya dari belakang, melihat
bagaimana dia berjalan begitu cepat,
seakan-akan tak peduli dengan orang di sekitarnya, dia seperti menikmati
dunianya saat berjalan meski dia sempat menoleh sebentar kearahku dan itu cukup
membuatku melihat keseluruhan wajahnya. Aku heran mataku terus memandanginya
mungkin karena tidak ada objek lain yang lebih menarik.
Hari
berikutnya aku melihat dia di sekolah baruku di SMA, ternyata kelasnya tidak
jauh dari kelasku dan dari informasi yang aku tahu dia tinggal di kompleks
sebelah, pantas saja dia melewati jalan yang searah denganku kemarin. Dan ternyata
dia juga baru pindah ke daerah ini, pantas saja aku seperti baru melihatnya.
Hari dan hari selanjutnya sudah seperti rutinitasku berjalan di belakangnya dan
melihat punggungnya yang semakin menjauh, aku semakin terbiasa dengan
kehadirannya walaupun kami tidak saling mengenal, mungkin hanya sebatas tahu
bahwa kami satu sekolah.
***
Aku
pulang sendiri lagi. Sudah sering aku menghabiskan perjalanan sendirian tanpa
teman karena teman-teman satu komplekku sekolah di tempat yang berbeda.
Aku
sempat terkejut saat tiba-tiba ada seseorang di sebelahku dan dia tersenyum.
“Rafa..”
sapanya, aku merasa sedikit gugup baru
kali ini dia menyapaku setelah berhari hari bahkan hampir setahun kita bertemu.
Sebenarnya aku sudah lama tahu siapa
namanya.
“icha..”
jawabku sekenanya.
“
icha.. oh jadi kamu biasa dipanggil icha..”
“
iya, kenapa?” aku sedikit heran sepertinya dia tahu nama lengkapku.
“
nggak papa, sedikit kaget aja kan tidak ada kata icha di rentetan namamu
hehehe” tuh kan dia kok bisa tahu namaku, dan yang pasti dia mungkin orang
keseribu yang menanyakan hal seperti itu jadi sudah tidak asing lagi di
telingaku.
“kamu
tahu nama lengkapku?” tanya ku
“
emm, aku pernah lihat nama kamu di mading. Waktu itu aku tanya clarissa itu
yang mana dan temanku nunjuk kamu saat kamu sedang bejalan ke perpus. Kamu ikut
jurnalistik kan?”
“oh
gitu, iya, kenapa?”
“tulisanmu
lumayan hehehe.. jadi kenapa kamu bisa dipanggil icha?” tanyanya, aku sedikit
heran kenapa ini orang ingin tahu banget.
“
kata icha itu dari clarissa sebenarnya, aku juga tidak tahu siapa yang punya
ide panggilan icha pertama kali, tapi nama itu sudah sangat familiar untukku
jadi aku lebih suka dipanggil icha dibanding clarissa atau mayang apalagi sari
hehehe”
“hemm
cukup masuk akal alasanmu, clarissa mayangsari hehehe”
kami
akhirnya tertawa bersama-sama tanpa sadar ada aliran keakraban yang mulai
terasa dan obrolan pun berlanjut sampai kami sampai di persimpangan jalan
menuju kompleks rumah kami masing-masing .
Sejak
saat itu kami menjadi lebih akrab, apalagi kita sering pulang bareng setiap
hari. Dia mengaku bahwa sebenarnya dia sudah sangat ingin menyapaku dari dulu saat tahu kalau kita
satu sekolah, tapi dia tidak cukup punya kebranian, katanya dia sedikit pemalu.
Satu lagi yang aku tahu dari dia yaitu sifat pemalunya, tapi kalau sudah
mengenalnya, maka dia akan cepat akrab karena dia sebenarnya sosok laki-laki yang
baik dan teman yang perhatian. Aku cukup senang saat dia menganggapku bukan
hanya sebagai teman perempuannya saja tapi salah satu sahabatnya yang dekat
dengannya. Ada rasa bangga karena setidaknya aku cukup berarti di hidupnya. Dan
aku juga menganggap dirinya sebagai sahabatku. Semakin aku mengenalnya semakin
banyak yang aku tahu dari dia tentang sifatnya, hidupnya, dan banyak hal
tentangnya yang selalu membuatku penasaran. Dia juga cukup banyak bercerita
tentang dirinya setiap pulang sekolah, terutama tentang cinta pertamanya. Aku
cukup terkejut, di saat yang bersamaan aku mengagumi perasaannya yang begitu besar, betapa dia sangat
berusaha untuk menyatakan perasaannya pada perempuan itu. Perempuan itu bernama
Anna, sebenarnya aku tidak terlalu heran dengan kenyataan itu karena aku sering
memergoki Rafa memperhatikannya, Anna adalah salah satu teman yang lumayan
dekat denganku kita pernah ikut dalam satu event perlombaan dari sekolah, dia
perempuan yang pintar dan prestasinya tidak diragukan lagi di sekolah.
Di
sisi lain hari demi hari aku menyadari,aku
mulai merasakan sesuatu pada seseorang,
perasaan yang mulai hangat tapi terasa menyiksa secara bersamaan. Apakah
perasaanku salah, mungkinkah sejak awal ini sudah salah karena tanpa sadar aku
mulai berharap yang jelas itu hanya semu. Tapi aku tidak bisa mengingkari
begitu saja meski ada sebuah tembok berlapis yang sulit di tembus. Jadi aku
selalu berusaha keras sejak saat itu dan menganggap semua biasa-biasa saja.
Ini
hari kesekian kalinya aku menghabiskan perjalanan pulangku bersama sahabatku
yang berbeda gender ini
“cha..”
panggilnya
“hemm..”
aku menoleh kearahnya.
“aku
penasaran siapa cowok yang kamu suka atau cowok yang pernah kamu suka? aku
ingat kamu pernah bertanya sama aku
bagaimana caranya move on. Dan tulisan-tulisan kamu jelas sekali menunjukan
bahwa kamu sedang menyukai seseorang” jawabnya, dia tersenyum menatapku, aku
hanya bisa melongo bingung mau jawab apa, sontak saat aku di tatapnya dengan
rasa penasaran seperti itu aku mengalihkan mukaku. Apa terlihat jelas sekali
perasaanku dan bisa di baca pada tulisan-tulisan itu.
“ayo
dong.... jawab! Aku penasaran tahu, aku sudah cerita banyak hal tentang diriku
terutama soal siapa yang aku suka. Sekarang giliran kamu harus melakukan hal yang sama.” rengek Rafa,
terkadang saat dia ingin tahu sesuatu dia seperti anak kecil, aku hanya
tersenyum melihatnya, tersenyum getir lebih tepatnya.
“sudahlah
Fa, lupakan itu tidak penting oke!! Dan jangan tanya-taanya itu lagi. Oya satu
lagi jangan samakan perasaanku dengan tulisan-tulisan itu karena itu hanya
fiksi, okeh! dan tidak ada hubungannya!!” Hanya itu yang bisa aku jawab. Dia
sedikit syokk karena aku sedikit menggunakan nada yang lebih tinggi dari
biasanya. Cepat-cepat aku berjalan mendahuluinya memang susah karena dia
langkahnya lebih lebar dan dengan cepat dia berjalan di sampingku lagi. Kali
ini aku hanya diam terus berjalan.
“oke..oke
kamu nggak mau jawab tapi pasti aku akan mencari tahu siapa orangnya” katanya ketus sepertinya dia sedikit emosi. Kenapa
dia jadi ngotot gini sih.
“
Ter-se-rah. Cari saja sendiri, kalau
sudah ketemu satu nama beri tahu aku.” Ucapku lagi tak kalah ketusnya. Ku pikir
dengan seperti itu dia akan berhenti. Tapi jawabannya di luar dugaanku dia
benar-benar penasaran.
“oke
dan kamu harus berjanji untuk jujur!!” setelah dia mengatakan itu dia berjalan
lebih cepat mendahuluiku.
Aku
hanya mendesah rasanya lelah sekali menghadapinya setiap hari, ingin rasanya
aku berlari dan berteriak sampai kapan ini berakhir. Tidak lama kemudian hujan
turun begitu lebat, sosok tubuhnya yang menembus hujan semakin jauh dari
tempatku saat ini. Aku terus berjalan memandanginya dari belakang seperti saat
pertama kali aku melihatnya. Entah itu air mataku, entah itu hujan, air itu
semakin deras di pipiku menambah rasa pilu yang kurasakan saat itu. Rasanya aku
ingin mencurahkan semua pada sahabatku itu. Aku ingin jujur.
Keesokan
harinya...
Saat
bel berbunyi aku segera bergegas untuk pulang, aku sengaja menghindarinya hari
ini entah apa yang dia rasakan mungkinkah dia sadar bahwa aku menghindarinya?
“
cha!!! cepat sekali jalan nya, bareng dong?” tanyanya terengah engah,
sepertinya dia berlari menyusulku, baru saja aku ingin terlepas dari nya hari
ini tapi dia muncul lagi. Padahal tadi di kelas aku sudah mati matian untuk
menghindarinya dengan pura-pura sibuk baca novel.
“hemm..
Ayo” jawabku akhirnya.
Ternyata
teman yang lain belum bisa pulang jadi mau tidak mau aku harus pulang bardua
lagi dengannya lagi dan lagi. Di tengah perjalanan pulang aku lebih memilih
diam, tidak ada tanda-tanda untuk membuka obrolan yang selalu kita lakukan.
Tapi tiba-tiba dia malah bertanya sesuatu yang tidak sangat aku hindari.
“Rio,
apa dia yang kamu suka?” tanyanya lembut mungkin takut aku tersinggung jika itu
semua benar.
“Apa?
Rio? Bukan dia.” Jawabku singkat, padat, tegas.
“
Apa Dika, oh bukan, Reza, Adit, atau Ahmad mungkin?” tanyanya lagi ekspresinya
benar-benar menunjukan penasaran tingkat maksimum. Aku hanya bisa menggeleng
lemah tebakannya benar-benar salah semua.
“Sudahlah
jangan pasang tampang sepenasaran itu, lupakan saja, oke.” Kali ini aku
tersenyum menanggapi ekspresinya.
“Kenapa
si kamu nggak mau jujur sama aku? Kamu tidak percaya? Takut aku menceritakan sama
orang lain”.
“Bukan
itu, sudah pernah ku katakan semua itu tidak penting lagi. Kenapa sih kamu
memaksa!”
“Aku
hanya ingin tahu namanya siapa? Kenapa kamu menyukainya? Semacam itu, apa aneh
jika aku ingin tahu. Aku sudah menceritakan siapa yang aku suka, bagaimana
perasaanku padanya, dan seberapa dalam rasa sayangku padanya.” Tuturnya, aku
hanya menanggapinya.
“hemm
iya aku mengerti.” Kataku melemah
“
oya kamu mau dengerin ceritaku tidak.” Kataku lagi di ambang kebisuan dan aku
berusaha mengalihkan pembicaraan yang serasa canggung ini.
“cerita
apa?” tanyanya dengan tampang bingung. Akhirnya batinku.
“cerita
dongeng tentang daun, embun, pagi dan tanah.”
“hahahaha...
kayak masih kecil aja, memang masih zaman kamu bicara tentang dongeng. Emang mau
di muat di mading ya certanya. Aku pastikan tidak akan ada yang membaca
terkecuali kamu pasang di mading TK atau SD. hahaha” Kekehnya, aku hanya
cemberut dengar ucapannya.
“
iya deh jangan cemberut gitu dong, ayo cerita aku dengerin kok?” lanjutnya
dengan senyum yang mengembang dibibirnya.
Aku
memulai ceritaku
Awalnya, pagi adalah momen terindah
bagi daun karena pagi adalah awal dari setiap hari dimana para manusia mulai melakukan
segala aktifitas yang seabrek itu. Bagi daun pagi adalah idolanya dan sesuatu
yang paling di tunggu entah itu keindahanya, tempat dimana matahari mulai
muncul, dan mengisi eneginya atau sesuatu seperti sebuah harapan. Saat pagi dan
sepanjang cerah datang ia tidak perlu kehabisan nafas karena berebut oksigen dengan
para manusia. Bukan cuma itu saja tapi setiap pagi tiba ada yang selalu datang
menghinggapinya, berada sangat dekat dengannya, dan menemaninya sepanjang pagi
tiba sampai matahari mengusirnya. Namun
dia pasti akan datang lagi di waktu yang
sama. Dia embun.
Embun adalah sosok yang tanpa sadar
mengisi hatinya, embun yang bening, embun yang terasa tulus dan suci. Bagi daun
embun tidak perlu berwarna untuk membuatnya jatuh cinta. Meski awalnya
kehadiranya terasa biasa saja tapi lama-lama kehadiran itu seperti kebutuhan
wajib bagi daun. Meski embun mungkin tak pernah menyadarinya, jangankan
menyadarinya bagi embun, daun adalah sahabat sejatinya tempat ia mencurahkan
segala kekagumannya pada pagi. Daun ingat saat embun bertanya.
“ menurutmu diantara semua proses
hidup di alam jagat raya ini, manakah peristiwa yang kau suka?” kata embun
dengan segala pesona kejernihannya.
“semua peristiwa di alam jagat raya
ini adalah suatu keindahan yang tiada duanya, aku tidak bisa membandingkan
karena semua memiliki manfaat dan pengalaman yang berbeda-beda.” Jawab daun
“ iya jawabanmu tidak salah semua
yang terjadi adalah sebuah anugrah dari sang pencipta. Tapi kau pernah bilang
pagi adalah momen yang sangat kau tunggu? Benarkah? Dan dia adalah favoritmu?”
“memang pagi adalah momen yang ku
tunggu dan dia adalah favoritku, tapi bukan berarti peristiwa
terindah bukan? Aku menunggu pagi karena disitu aku bisa melihat warna
warni dunia lebih terang, matahari juga mulai muncul saat pagi, saat-saat
dimana aku mulai mengisi energiku. Selain itu, saat pagi aku tidak perlu susah
bernafas karena aku dan manusia saling bersimbiosis mutualisme. Begitulah..”
kata daun panjang lebar, ..dan karena
pagi selalu menghadirkanmu batin daun.
Embun sepertinya dapat menerima jawaban daun.
“ngomong-ngomong soal yang kau
tanyakan, menurutmu peristiwa mana yag terindah?” lanjutku.
Dia tersenyum dan berkata dengan
sangat jelas. “ pagi, karena aku sangat menyukai pagi.” Jawabannya tidak salah
karena daun tahu embun datang untuk pagi, embun selalu ada untuk pagi, meski
pagi tidak menyadari tapi embun adalah salah satu keindahan dan kesejukan di
pagi hari. Tetapi, disisi lain daun merasa sakit kenapa harus pagi bukan dirinya
yang selalu berusaha disisinya. Adakah kesempatan untuknya bisa dilihat embun
bukan hanya sebagai sahabat tapi sesuatu yang berarti di hidupnya.
Berhari-hari lamanya tiada henti
embun bercerita tentang pagi, tentang kekagumannya yang semakin lama semakin
besar terhadap pagi. Daun hanya mendengarkan dan sesekali menimpali pertanyaan
embun. Daun seberapapun dia berusaha memahami embun tetap saja pada akhirnya
dia selalu yang terluka.
Sejurus
aku berhenti, tidak terasa kami telah sampai di persimpangan jalan yang menuju
rumah kita masing-masing. Tiba-tiba Rafa bertanya.
“
terus apa yang terjadi selanjutnya terhadap daun, apakah embun akan tahu dengan
perasaan daun?” katanya penasaran. Aku tersenyum dan mulai melangkah menuju
persimpangan itu.
“kapan-
kapan aku akan melanjutkan cerintanya, hehehe,,,” aku cengengesan melihat wajah
dongkol Rafa, di langsung melengos pergi
menuju persimpanga yang satunya lagi.
“jangan
merajuk seperti itu, kau seperti anak kecil saja hahaha... aku janji akan
menceritakannya lagi.” Kataku dengan suara tinggi agar Rafa mendengar yang
sudah mulai melangkah jauh dariku. Dia berbalik dan mengangkat tangannya yang
melambai-lambai sambil tersenyum. Sepertinya
dia tidak marah batinku. Aku meneruskan perjalananku menuju rumah.
Beberapa
hari kemudian...
“cha,
emang bener ya cowok itu sebenarnya Dika..
cowok yang kamu suka?” tanya Rafa tiba-tiba saat pulang sekolah. Aku merasa semakin tertekan karena Rafa selalu
ingin tahu lebih banyak tentang perasaanku. Apalagi di tambah kenyataan
kencangnya gosip yang beredar tentang aku dan Dika yang jelas-jelas hanya
omongan kosong belaka, gosip ini menyebar karena Dika dekat denganku padahal
kita dekat karena ada proyek baru pembuatan majalah sekolah tapi mereka salah
mengartikan. Aku hanya diam saat Rafa bertanya lagi kali ini nadanya sedikit
lebih tinggi mungkin dia lelah dari kemarin aku selalu menghindari
pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak penting bagiku.
Ada
rasa sesak yang bergelayut dihatiku dan rasanya aku ingin memuntahkan semua,
berharap ada cairan lega yang melunturkan rasa sesak itu.
“cha,
kamu dengar nggak sih dari tadi aku ngomong! Terserah kamu aja deh.. aku kayaknya
nggak berguna jadi teman kamu!” ucap Rafa habis kesabarannya aku hanya mendesah
melihatnya. Saat dia tiba-tiba pergi..
“
Raf, kamu inget aku pernah cerita tentang daun dan embun?” kataku
“apa?”
langkahnya terhenti dia balik menatapku. Bingung.
“bagiku
dia itu embun Raf? Dan aku hanyalah daun yang tak sengaja jatuh di dalam angan
yang tak mungkin aku tembus, aku jatuh dalam rasa yang seharusnya takan pernah
ada.” Kataku. Tanpa sadar ada bulir bening yang hangat jatuh di pemukaan pipiku
yang berasal dari pelupuk mata. Rasanya sakit seperti terjerembab dalam jaring
penuh duri. Aku melihat Rafa, dia mengerutkan dahi mungkin sedang mencerna apa
yang baru saja aku katakan. Tapi itulah yang aku rasakan mencoba jujur apa
adanya. Dan kini kakiku melangkah lebih cepat, entahlah rasanya ingin segera
sampai di rumah, masuk kamar, mengunci pintu rapat-rapat, dan meledakkan emosi
sepuas-puasnya dengan menagis. Aku berlari meninggalkan Rafa yang berdiri
mematung, sepertinya dia sedang berpikir tapi aku tidak tau apa yang dia
pikirkan dan aku tidak mau menebak-nebaknya. Sudah cukup bagiku.
“
apakah embun yang kau maksud adalah aku?!” Teriaknya, seketika itu aku
berhenti. Kaget bukan kepalang dan tanpa sadar aku berbalik. Dengan rasa emosi
yang membuncah dan air mataku yang semakin deras aku berkata..
“embun menghilang bersama langit cerah karena
dia memang tercipta untuk pagi. Daun menguning jatuh dalam pelukan tanah kering.
Itulah akhir dari cerita yang ku janjikan padamu. Tapi ada satu pertanyaan dari
cerita tersebut.” Aku mendesah dan melanjutkan kata-kata yang sempat terpotong.
“Sebenarnya siapakah pemilik cinta sejati
itu? daun yang setia menunggu untuk ketidakpastian? ataukah embun yang penuh
tulus untuk menyambut pagi datang? Aku tidak tau jawabannya Rafa karena bagiku
keduanya berjuang untuk cinta dan sayangnya mereka tidak dijalur dan tujuan
yang sama seperti aku dan kamu”
***
Kenangan
itu terus membanjiri otakku dan aku masih ingat dengan jelas bagaimana kejadian
setelah itu. Dan pada akhirnya akulah yang pergi mungkin ini jalannya.
4
tahun, butuh selama itu sampai pada akhirnya tidak terasa sakit. Dan aku masih membutuhkan
beberapa tahun kedepan yang tidak ku
ketahui berapa lama untuk menata hatiku kembali. Meski aku tahu segala yang
berubah pasti akan ada yang tetap begitupun sebaliknya segala yang tetap pasti
akan ada yang berubah. Pada intinya hatiku takan kembali sesempurna saat aku
belum mengenal apa itu cinta dan dia.
Kini,
saat ini, aku telah berada di antara persimpangan jalan menuju 2 komplek
perumah di daerah ini, aku berhenti menghembuskan nafas berat bersama kenangan
itu, yang aku hempaskan melalui udara yang ku hembuskan.
“Pada
akhirnya daun akan mati, tak seindah dulu saat embun menyapa. Selanjutnya, daun
jatuh dalam tanah kering, terkubur tanpa cerita.semua menjadi abu-abu, tak ada
sisa, yang mereka sebut sebagai masalalu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar