Kamis, 21 Mei 2015

Cerpen Aku, Daun dan Jalan ini



Aku, Daun, dan Jalan ini..
Bunyi decitan ban menimbulkan kebisingan di telingaku membuatku tersadar, bahwa aku harus segera turun dari angkutan ini. Setelah membayar uang angkot, kini mataku mulai menjelajahi  pemandangan yang tersaji di depanku. Rasanya sudah lama kakiku tak menginjak jalan ini, ternyata sudah banyak yang berubah. Sekarang jalannya sudah hotmik tidak serusak dulu, pohon-pohon yang berjejer di sekeliling jalan tampaknya telah berkurang, sehingga udaranya tidak sesejuk dulu saat aku melewatinya di setiap pulang sekolah. Jalan ini bisa di bilang akses tercepat menuju rumahku yang kenyataannya jauh dari keramaian kota dan jalan ini menghubungkan dua komplek di daerah ini. Entah kenapa rasanya ingin bernostalgia dengan jalan ini, ada rasa kerinduan untuk mengulangi masa-masa perjalananku waktu aku masih belajar di sekolah menengah. Sudah lima menit lewat aku berjalan, butuh 25 menit lagi untuk sampai dirumah. 
Tanpa sadar ada satu memori yang ingin  mencoba menguak sisi lain tentang kenangan jalan ini. Yah,  jalan ini sudah seperti saksi bisu sebagian dari perjalanan hidupku, tempat aku bahagia, tertawa, menangis, kecewa dan masih banyak macam rasa yang terjadi di jalan ini.  Empat tahun sudah berlalu tapi ingatan itu masih  belum enyah juga dari pikiranku. Entah angin dari mana  yang membuat hatiku tergerak untuk melewati jalan ini lagi. Tetapi, aku tidak mungkin terus menghindar, ini sudah terlalu lama  bukan, sudah saatnya aku menghadapi semuanya.
Semakin lama aku berjalan semakin nyata terlihat sekelebat potongan-potongan kejadian penuh kenangan itu, dan anehnya terus membanjiri otakku seakan-akan ingin dimuntahkan saat itu juga. Satu titik air mataku berhasil meluncur melewati pipi kiriku, masih saja ada perih yang tersisa.
Empat tahun lalu...
Hari ini sangat berbeda dari hari biasanya saat melewati jalan ini, ada seseorang yang berjalan di depanku tepatnya seorang laki-laki. Dia  tidak terlalu tinggi  postur tubuhnya tapi juga tidak pendek, wajahnya menyiratkan ketegasan, tidak ada yang spesial sebenarnya seorang laki-laki biasa dengan kulit kecoklatan. Entah kenapa saat  itu aku memandanginya dari belakang, melihat bagaimana dia berjalan  begitu cepat, seakan-akan tak peduli dengan orang di sekitarnya, dia seperti menikmati dunianya saat berjalan meski dia sempat menoleh sebentar kearahku dan itu cukup membuatku melihat keseluruhan wajahnya. Aku heran mataku terus memandanginya mungkin karena tidak ada objek lain yang lebih menarik.
Hari berikutnya aku melihat dia di sekolah baruku di SMA, ternyata kelasnya tidak jauh dari kelasku dan dari informasi yang aku tahu dia tinggal di kompleks sebelah, pantas saja dia melewati jalan yang searah denganku kemarin. Dan ternyata dia juga baru pindah ke daerah ini, pantas saja aku seperti baru melihatnya. Hari dan hari selanjutnya sudah seperti rutinitasku berjalan di belakangnya dan melihat punggungnya yang semakin menjauh, aku semakin terbiasa dengan kehadirannya walaupun kami tidak saling mengenal, mungkin hanya sebatas tahu bahwa kami satu sekolah. 
***
Aku pulang sendiri lagi. Sudah sering aku menghabiskan perjalanan sendirian tanpa teman karena teman-teman satu komplekku sekolah di tempat yang berbeda.
Aku sempat terkejut saat tiba-tiba ada seseorang di sebelahku dan dia tersenyum.
“Rafa..” sapanya,  aku merasa sedikit gugup baru kali ini dia menyapaku setelah berhari hari bahkan hampir setahun kita bertemu. Sebenarnya aku  sudah lama tahu siapa namanya.
“icha..” jawabku sekenanya.
“ icha.. oh jadi kamu biasa dipanggil icha..”
“ iya, kenapa?” aku sedikit heran sepertinya dia tahu nama lengkapku.
“ nggak papa, sedikit kaget aja kan tidak ada kata icha di rentetan namamu hehehe” tuh kan dia kok bisa tahu namaku, dan yang pasti dia mungkin orang keseribu yang menanyakan hal seperti itu jadi sudah tidak asing lagi di telingaku.
“kamu tahu nama lengkapku?” tanya ku
“ emm, aku pernah lihat nama kamu di mading. Waktu itu aku tanya clarissa itu yang mana dan temanku nunjuk kamu saat kamu sedang bejalan ke perpus. Kamu ikut jurnalistik kan?”
“oh gitu, iya, kenapa?”
“tulisanmu lumayan hehehe.. jadi kenapa kamu bisa dipanggil icha?” tanyanya, aku sedikit heran kenapa ini orang ingin tahu banget.
“ kata icha itu dari clarissa sebenarnya, aku juga tidak tahu siapa yang punya ide panggilan icha pertama kali, tapi nama itu sudah sangat familiar untukku jadi aku lebih suka dipanggil icha dibanding clarissa atau mayang apalagi sari hehehe”
“hemm cukup masuk akal alasanmu, clarissa mayangsari hehehe”
kami akhirnya tertawa bersama-sama tanpa sadar ada aliran keakraban yang mulai terasa dan obrolan pun berlanjut sampai kami sampai di persimpangan jalan menuju kompleks rumah kami masing-masing .

Sejak saat itu kami menjadi lebih akrab, apalagi kita sering pulang bareng setiap hari. Dia mengaku bahwa sebenarnya dia sudah sangat  ingin menyapaku dari dulu saat tahu kalau kita satu sekolah, tapi dia tidak cukup punya kebranian, katanya dia sedikit pemalu. Satu lagi yang aku tahu dari dia yaitu sifat pemalunya, tapi kalau sudah mengenalnya, maka dia akan cepat akrab  karena dia sebenarnya sosok laki-laki yang baik dan teman yang perhatian. Aku cukup senang saat dia menganggapku bukan hanya sebagai teman perempuannya saja tapi salah satu sahabatnya yang dekat dengannya. Ada rasa bangga karena setidaknya aku cukup berarti di hidupnya. Dan aku juga menganggap dirinya sebagai sahabatku. Semakin aku mengenalnya semakin banyak yang aku tahu dari dia tentang sifatnya, hidupnya, dan banyak hal tentangnya yang selalu membuatku penasaran. Dia juga cukup banyak bercerita tentang dirinya setiap pulang sekolah, terutama tentang cinta pertamanya. Aku cukup terkejut, di saat yang bersamaan aku mengagumi  perasaannya yang begitu besar, betapa dia sangat berusaha untuk menyatakan perasaannya pada perempuan itu. Perempuan itu bernama Anna, sebenarnya aku tidak terlalu heran dengan kenyataan itu karena aku sering memergoki Rafa memperhatikannya, Anna adalah salah satu teman yang lumayan dekat denganku kita pernah ikut dalam satu event perlombaan dari sekolah, dia perempuan yang pintar dan prestasinya tidak diragukan lagi di sekolah.

Di sisi lain  hari demi hari aku menyadari,aku mulai merasakan sesuatu pada seseorang,  perasaan yang mulai hangat tapi terasa menyiksa secara bersamaan. Apakah perasaanku salah, mungkinkah sejak awal ini sudah salah karena tanpa sadar aku mulai berharap yang jelas itu hanya semu. Tapi aku tidak bisa mengingkari begitu saja meski ada sebuah tembok berlapis yang sulit di tembus. Jadi aku selalu berusaha keras sejak saat itu dan menganggap semua biasa-biasa saja.

Ini hari kesekian kalinya aku menghabiskan perjalanan pulangku bersama sahabatku yang berbeda gender ini
“cha..” panggilnya
“hemm..” aku menoleh kearahnya.
“aku penasaran siapa cowok yang kamu suka atau cowok yang pernah kamu suka? aku ingat  kamu pernah bertanya sama aku bagaimana caranya move on. Dan tulisan-tulisan kamu jelas sekali menunjukan bahwa kamu sedang menyukai seseorang” jawabnya, dia tersenyum menatapku, aku hanya bisa melongo bingung mau jawab apa, sontak saat aku di tatapnya dengan rasa penasaran seperti itu aku mengalihkan mukaku. Apa terlihat jelas sekali perasaanku dan bisa di baca pada tulisan-tulisan itu.
“ayo dong.... jawab! Aku penasaran tahu, aku sudah cerita banyak hal tentang diriku terutama soal siapa yang aku suka. Sekarang giliran kamu  harus melakukan hal yang sama.” rengek Rafa, terkadang saat dia ingin tahu sesuatu dia seperti anak kecil, aku hanya tersenyum melihatnya, tersenyum getir lebih tepatnya.
“sudahlah Fa, lupakan itu tidak penting oke!! Dan jangan tanya-taanya itu lagi. Oya satu lagi jangan samakan perasaanku dengan tulisan-tulisan itu karena itu hanya fiksi, okeh! dan tidak ada hubungannya!!” Hanya itu yang bisa aku jawab. Dia sedikit syokk karena aku sedikit menggunakan nada yang lebih tinggi dari biasanya. Cepat-cepat aku berjalan mendahuluinya memang susah karena dia langkahnya lebih lebar dan dengan cepat dia berjalan di sampingku lagi. Kali ini aku hanya diam terus berjalan.
“oke..oke kamu nggak mau jawab tapi pasti aku akan mencari tahu siapa orangnya”  katanya ketus sepertinya dia sedikit emosi. Kenapa dia jadi ngotot gini sih.
“ Ter-se-rah. Cari  saja sendiri, kalau sudah ketemu satu nama beri tahu aku.” Ucapku lagi tak kalah ketusnya. Ku pikir dengan seperti itu dia akan berhenti. Tapi jawabannya di luar dugaanku dia benar-benar penasaran.
“oke dan kamu harus berjanji untuk jujur!!” setelah dia mengatakan itu dia berjalan lebih cepat mendahuluiku.
Aku hanya mendesah rasanya lelah sekali menghadapinya setiap hari, ingin rasanya aku berlari dan berteriak sampai kapan ini berakhir. Tidak lama kemudian hujan turun begitu lebat, sosok tubuhnya yang menembus hujan semakin jauh dari tempatku saat ini. Aku terus berjalan memandanginya dari belakang seperti saat pertama kali aku melihatnya. Entah itu air mataku, entah itu hujan, air itu semakin deras di pipiku menambah rasa pilu yang kurasakan saat itu. Rasanya aku ingin mencurahkan semua pada sahabatku itu. Aku ingin jujur.

Keesokan harinya...

Saat bel berbunyi aku segera bergegas untuk pulang, aku sengaja menghindarinya hari ini entah apa yang dia rasakan mungkinkah dia sadar bahwa aku menghindarinya?
“ cha!!! cepat sekali jalan nya, bareng dong?” tanyanya terengah engah, sepertinya dia berlari menyusulku, baru saja aku ingin terlepas dari nya hari ini tapi dia muncul lagi. Padahal tadi di kelas aku sudah mati matian untuk menghindarinya dengan pura-pura sibuk baca novel.
“hemm.. Ayo” jawabku akhirnya.
Ternyata teman yang lain belum bisa pulang jadi mau tidak mau aku harus pulang bardua lagi dengannya lagi dan lagi. Di tengah perjalanan pulang aku lebih memilih diam, tidak ada tanda-tanda untuk membuka obrolan yang selalu kita lakukan. Tapi tiba-tiba dia malah bertanya sesuatu yang tidak sangat aku hindari.
“Rio, apa dia yang kamu suka?” tanyanya lembut mungkin takut aku tersinggung jika itu semua benar.
“Apa? Rio? Bukan dia.” Jawabku singkat, padat, tegas.
“ Apa Dika, oh bukan, Reza, Adit, atau Ahmad mungkin?” tanyanya lagi ekspresinya benar-benar menunjukan penasaran tingkat maksimum. Aku hanya bisa menggeleng lemah tebakannya benar-benar salah semua.
“Sudahlah jangan pasang tampang sepenasaran itu, lupakan saja, oke.” Kali ini aku tersenyum menanggapi ekspresinya.
“Kenapa si kamu nggak mau jujur sama aku? Kamu tidak percaya? Takut aku menceritakan sama orang lain”.
“Bukan itu, sudah pernah ku katakan semua itu tidak penting lagi. Kenapa sih kamu memaksa!”
“Aku hanya ingin tahu namanya siapa? Kenapa kamu menyukainya? Semacam itu, apa aneh jika aku ingin tahu. Aku sudah menceritakan siapa yang aku suka, bagaimana perasaanku padanya, dan seberapa dalam rasa sayangku padanya.” Tuturnya, aku hanya menanggapinya.
“hemm iya aku mengerti.” Kataku melemah
“ oya kamu mau dengerin ceritaku tidak.” Kataku lagi di ambang kebisuan dan aku berusaha mengalihkan pembicaraan yang serasa canggung ini.
“cerita apa?” tanyanya dengan tampang bingung. Akhirnya batinku.
“cerita dongeng tentang daun, embun, pagi dan tanah.”
“hahahaha... kayak masih kecil aja, memang masih zaman kamu bicara tentang dongeng. Emang mau di muat di mading ya certanya. Aku pastikan tidak akan ada yang membaca terkecuali kamu pasang di mading TK atau SD. hahaha” Kekehnya, aku hanya cemberut dengar ucapannya.
“ iya deh jangan cemberut gitu dong, ayo cerita aku dengerin kok?” lanjutnya dengan senyum yang mengembang dibibirnya.
Aku memulai ceritaku

Awalnya, pagi adalah momen terindah bagi daun karena pagi adalah awal dari setiap hari dimana para manusia mulai melakukan segala aktifitas yang seabrek itu. Bagi daun pagi adalah idolanya dan sesuatu yang paling di tunggu entah itu keindahanya, tempat dimana matahari mulai muncul, dan mengisi eneginya atau sesuatu seperti sebuah harapan. Saat pagi dan sepanjang cerah datang ia tidak perlu kehabisan nafas karena berebut oksigen dengan para manusia. Bukan cuma itu saja tapi setiap pagi tiba ada yang selalu datang menghinggapinya, berada sangat dekat dengannya, dan menemaninya sepanjang pagi tiba sampai  matahari mengusirnya. Namun dia pasti akan  datang lagi di waktu yang sama. Dia embun.
Embun adalah sosok yang tanpa sadar mengisi hatinya, embun yang bening, embun yang terasa tulus dan suci. Bagi daun embun tidak perlu berwarna untuk membuatnya jatuh cinta. Meski awalnya kehadiranya terasa biasa saja tapi lama-lama kehadiran itu seperti kebutuhan wajib bagi daun. Meski embun mungkin tak pernah menyadarinya, jangankan menyadarinya bagi embun, daun adalah sahabat sejatinya tempat ia mencurahkan segala kekagumannya pada pagi. Daun ingat saat embun bertanya.
“ menurutmu diantara semua proses hidup di alam jagat raya ini, manakah peristiwa yang kau suka?” kata embun dengan segala pesona kejernihannya.
“semua peristiwa di alam jagat raya ini adalah suatu keindahan yang tiada duanya, aku tidak bisa membandingkan karena semua memiliki manfaat dan pengalaman yang berbeda-beda.” Jawab daun
“ iya jawabanmu tidak salah semua yang terjadi adalah sebuah anugrah dari sang pencipta. Tapi kau pernah bilang pagi adalah momen yang sangat kau tunggu? Benarkah? Dan dia adalah favoritmu?”
“memang pagi adalah momen yang ku tunggu dan dia adalah favoritku, tapi bukan berarti  peristiwa  terindah bukan? Aku menunggu pagi karena disitu aku bisa melihat warna warni dunia lebih terang, matahari juga mulai muncul saat pagi, saat-saat dimana aku mulai mengisi energiku. Selain itu, saat pagi aku tidak perlu susah bernafas karena aku dan manusia saling bersimbiosis mutualisme. Begitulah..” kata daun panjang lebar, ..dan karena pagi selalu menghadirkanmu batin daun.  Embun sepertinya dapat menerima jawaban daun.
“ngomong-ngomong soal yang kau tanyakan, menurutmu peristiwa mana yag terindah?” lanjutku.
Dia tersenyum dan berkata dengan sangat jelas. “ pagi, karena aku sangat menyukai pagi.” Jawabannya tidak salah karena daun tahu embun datang untuk pagi, embun selalu ada untuk pagi, meski pagi tidak menyadari tapi embun adalah salah satu keindahan dan kesejukan di pagi hari. Tetapi, disisi lain daun merasa sakit kenapa harus pagi bukan dirinya yang selalu berusaha disisinya. Adakah kesempatan untuknya bisa dilihat embun bukan hanya sebagai sahabat tapi sesuatu yang berarti di hidupnya.
Berhari-hari lamanya tiada henti embun bercerita tentang pagi, tentang kekagumannya yang semakin lama semakin besar terhadap pagi. Daun hanya mendengarkan dan sesekali menimpali pertanyaan embun. Daun seberapapun dia berusaha memahami embun tetap saja pada akhirnya dia selalu yang terluka.

Sejurus aku berhenti, tidak terasa kami telah sampai di persimpangan jalan yang menuju rumah kita masing-masing. Tiba-tiba Rafa bertanya.
“ terus apa yang terjadi selanjutnya terhadap daun, apakah embun akan tahu dengan perasaan daun?” katanya penasaran. Aku tersenyum dan mulai melangkah menuju persimpangan itu.
“kapan- kapan aku akan melanjutkan cerintanya, hehehe,,,” aku cengengesan melihat wajah dongkol Rafa,  di langsung melengos pergi menuju persimpanga yang satunya lagi.
“jangan merajuk seperti itu, kau seperti anak kecil saja hahaha... aku janji akan menceritakannya lagi.” Kataku dengan suara tinggi agar Rafa mendengar yang sudah mulai melangkah jauh dariku. Dia berbalik dan mengangkat tangannya yang melambai-lambai sambil tersenyum. Sepertinya dia tidak marah batinku. Aku meneruskan perjalananku menuju rumah.

Beberapa hari kemudian...

“cha, emang bener ya cowok itu sebenarnya  Dika.. cowok yang kamu suka?” tanya Rafa tiba-tiba saat pulang sekolah. Aku  merasa semakin tertekan karena Rafa selalu ingin tahu lebih banyak tentang perasaanku. Apalagi di tambah kenyataan kencangnya gosip yang beredar tentang aku dan Dika yang jelas-jelas hanya omongan kosong belaka, gosip ini menyebar karena Dika dekat denganku padahal kita dekat karena ada proyek baru pembuatan majalah sekolah tapi mereka salah mengartikan. Aku hanya diam saat Rafa bertanya lagi kali ini nadanya sedikit lebih tinggi mungkin dia lelah dari kemarin aku selalu menghindari pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak penting bagiku.
Ada rasa sesak yang bergelayut dihatiku dan rasanya aku ingin memuntahkan semua, berharap ada cairan lega yang melunturkan rasa sesak itu.
“cha, kamu dengar nggak sih dari tadi aku ngomong! Terserah kamu aja deh.. aku kayaknya nggak berguna jadi teman kamu!” ucap Rafa habis kesabarannya aku hanya mendesah melihatnya. Saat dia tiba-tiba pergi..
“ Raf, kamu inget aku pernah cerita tentang daun dan embun?” kataku
“apa?” langkahnya terhenti dia balik menatapku. Bingung.
“bagiku dia itu embun Raf? Dan aku hanyalah daun yang tak sengaja jatuh di dalam angan yang tak mungkin aku tembus, aku jatuh dalam rasa yang seharusnya takan pernah ada.” Kataku. Tanpa sadar ada bulir bening yang hangat jatuh di pemukaan pipiku yang berasal dari pelupuk mata. Rasanya sakit seperti terjerembab dalam jaring penuh duri. Aku melihat Rafa, dia mengerutkan dahi mungkin sedang mencerna apa yang baru saja aku katakan. Tapi itulah yang aku rasakan mencoba jujur apa adanya. Dan kini kakiku melangkah lebih cepat, entahlah rasanya ingin segera sampai di rumah, masuk kamar, mengunci pintu rapat-rapat, dan meledakkan emosi sepuas-puasnya dengan menagis. Aku berlari meninggalkan Rafa yang berdiri mematung, sepertinya dia sedang berpikir tapi aku tidak tau apa yang dia pikirkan dan aku tidak mau menebak-nebaknya. Sudah cukup bagiku.
“ apakah embun yang kau maksud adalah aku?!” Teriaknya, seketika itu aku berhenti. Kaget bukan kepalang dan tanpa sadar aku berbalik. Dengan rasa emosi yang membuncah dan air mataku yang semakin deras aku berkata..
embun menghilang bersama langit cerah karena dia memang tercipta untuk pagi. Daun menguning jatuh dalam pelukan tanah kering. Itulah akhir dari cerita yang ku janjikan padamu. Tapi ada satu pertanyaan dari cerita tersebut.” Aku mendesah dan melanjutkan kata-kata yang sempat terpotong.
Sebenarnya siapakah pemilik cinta sejati itu? daun yang setia menunggu untuk ketidakpastian? ataukah embun yang penuh tulus untuk menyambut pagi datang? Aku tidak tau jawabannya Rafa karena bagiku keduanya berjuang untuk cinta dan sayangnya mereka tidak dijalur dan tujuan yang sama seperti aku dan kamu” 

***

Kenangan itu terus membanjiri otakku dan aku masih ingat dengan jelas bagaimana kejadian setelah itu. Dan pada akhirnya akulah yang pergi mungkin ini jalannya.

4 tahun, butuh selama itu sampai pada akhirnya tidak terasa sakit. Dan aku masih membutuhkan  beberapa tahun kedepan yang tidak ku ketahui berapa lama untuk menata hatiku kembali. Meski aku tahu segala yang berubah pasti akan ada yang tetap begitupun sebaliknya segala yang tetap pasti akan ada yang berubah. Pada intinya hatiku takan kembali sesempurna saat aku belum mengenal apa itu cinta dan dia.

Kini, saat ini, aku telah berada di antara persimpangan jalan menuju 2 komplek perumah di daerah ini, aku berhenti menghembuskan nafas berat bersama kenangan itu, yang aku hempaskan melalui udara yang ku hembuskan.

“Pada akhirnya daun akan mati, tak seindah dulu saat embun menyapa. Selanjutnya, daun jatuh dalam tanah kering, terkubur tanpa cerita.semua menjadi abu-abu, tak ada sisa, yang mereka sebut sebagai masalalu”